Malam Saat Saya Diblok: Menulis 1200 Kata

Saya tidak datang untuk menang. Saya datang karena keheningan menjadi terlalu keras. Tengah malam di apartemen Manhattan—lantai atas, tanpa anak, hanya seekucing hitam bernama ‘Mo’ yang berbaring di sampingku seperti saksi sunyi. Di luar, kota bernapas dalam denyut perlahan. Di dalam, layar bercahaya dengan genteng hantu: setiap langkah seperti doa. Mereka menyebutnya ‘perjudian.’ Tapi saya menyebutnya mengamati. Algoritma mengatakan ‘tingkat kemenangan’—95% peluang hupai. Tapi saya tak melihat pola dalam keacakan. Hanya irama. Saya bermain mahjong klasik sekali—permainan sunyi dari kayu dan angin—setiap genteng jatuh seperti nada jazz tua. Tanpa hadiah. Tanpa bonus. Hanya kehadiran. Saya melacak sepuluh langkah. Bukan untuk mengejar kemenangan—tapi untuk merasakannya. Genteng naga? Itu tak cukup sering mendarat. Phoenix? Terlalu terang. Mereka menawarkan ‘penambahan gratis.’ Saya menolaknya. Saya tak butuh keberuntungan—I need stillness. Ini bukan hiburan yang dirancang untuk lonjakan dopamin—it’s therapy carved from solitude. Di dunia ini di mana AI memprediksi langkahmu sebelum kau lakukan—it’s not control—it’s compassion. Kamu tidak perlu mengalahkan sistem. Kamu perlu bertahan—in silence—with one hand on the table, dan satu napas di antara genteng.